Beranda | Artikel
Bulughul Maram tentang Wudhu (Bahas Tuntas)
Selasa, 16 Juni 2020

Bagaimana tata cara wudhu sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Daftar Isi buka

Kitab Bulughul Maram

كِتَابُ اَلطَّهَارَةِ

بَابُ اَلْوُضُوءِ

KITAB BERSUCI

BAB WUDHU

 

HUKUM BERSIWAK KETIKA BERWUDHU

HADITS KE-32

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ – أَخْرَجَهُ مَالِكٌ, وأَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya bukan karena khawatir akan menyusahkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Malik, Ahmad, dan An-Nasai, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah). [HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 1:66,115 secara mauquf, sampai pada sahabat, dan Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan bahwa hadits ini marfu’, sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; Ahmad, 16:22; An-Nasai dalam Al-Kubra, 3:291; Ibnu Khuzaimah, 140. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:138-139].

 

Faedah hadits

  1. Dianjurkan (disunnahkan) untuk bersiwak, bukan wajib.
  2. Disunnahkan untuk bersiwak setiap kali berwudhu.
  3. Ada pendapat yang menyatakan bahwa bersiwak itu bisa dilakukan sebelum berwudhu, yaitu bersiwak dahulu lalu berwudhu. Inilah pendapat sekelompok ulama Hanafiyah, pendapat Malikiyah, dan pendapat Syafiiyah. Adapun jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa bersiwak dilakukan ketika berkumur-kumur, yaitu saat berkumur-kumur dibarengkan dengan bersiwak. Namun, kalau lihat dari praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersiwak itu dilakukan sebelum berwudhu.
  4. Hukum asal kalimat perintah menunjukkan wajib kecuali ada dalil yang meniadakan hukum wajib.

Baca Juga: Bersiwak Akan Membuat Mulut Bersih dan Mendapat Ridho Ilahi

Syaikh Dr. Labib Najib dalam Tahqiq Ar-Raghabaat bi At-Taqasim wa At-Tasyjiiraat li Thalabah Al-Fiqh Asy-Syafii (hlm. 14) menyatakan mengenai hukum bersiwak sebagai berikut:

Pertama, hukumnya wajib yaitu ketika bernadzar untuk bersiwak.

Kedua, hukumnya mustahab (sunnah), itulah hukum asalnya. Hukum sunnah ini dalam beberapa keadaan:

  1. Jika berubah bau mulut.
  2. Jika baru bangun tidur.
  3. Ketika berwudhu, akan shalat, dan membaca Al-Qur’an.

Ketiga, hukumnya makruh, yaitu setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke barat) bagi orang yang berpuasa.

Keempat, hukumnya haram, jika menggunakan siwak milik orang lain tanpa izin atau tanpa diketahui keridaannya.

 

TATA CARA WUDHU NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

HADITS KE-33

وَعَنْ حُمْرَانَ; – أَنَّ عُثْمَانَ – رضي الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ, فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ مَضْمَضَ, وَاسْتَنْشَقَ, وَاسْتَنْثَرَ, ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari Humran rahimahullah, bahwa ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu meminta untuk diambilkan air wudhu. Lalu beliau mencuci kedua telapak tangannya, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya kembali, lalu membasuh wajahnya tiga kali, mencuci tangan kanan hingga siku tiga kali, dan demikian juga tangan kiri, kemudian mengusap kepala, kemudian mencuci kaki kanan hingga mata kaki sebanyak tiga kali, dan demikian juga kaki kiri, lantas berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberwudhu seperti wudhu yang telah aku lakukan ini.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 159 dan Muslim, no. 226]

 

Faedah hadits

  1. Madh-madhah artinya berkumur-kumur, memutar-mutar air dalam mulut. Istinsyaq berarti menarik air dengan nafas ke bagian dalam hidung. Istintsar berarti mengeluarkan air dari hidung.
  2. Batasan muka adalah dari tempat tumbuhnya rambut normal di depan sampai janggut dan dagu, ini secara tegak lurus. Sedangkan dari lebarnya, muka itu adalah dari telinga ke telinga.
  3. Masaha artinya mengusap dengan tangan cukup dibasahkan. Batasan kepala adalah bagian tumbuh rambut dari depan hingga tengkuk.
  4. Hadits ini menerangkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna.
  5. Boleh meminta tolong untuk menghadirkan air wudhu. Termasuk yang dibolehkan adalah menuangkan air pada orang yang berwudhu.
  6. Tata cara wudhu yang dipraktikkan Utsman adalah secara praktik, bukan ucapan. Praktik ini lebih cepat memahamkan.
  7. Tata cara wudhu yang disampaikan oleh Utsman adalah: mencuci telapak tangan tiga kali, berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung), istintsar (mengeluarkan air dari hidung), mencuci wajah tiga kali, kemudian mencuci tangan kanan hingga siku tiga kali, lalu mencuci tangan kiri demikian pula, kemudian mengusap kepala, lalu mencuci kaki kanan hingga mata kaki sebanyak tiga kali, lalu kaki kiri sebanyak tiga kali pula. Inilah tata cara wudhu yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  8. Mencuci telapak tangan sebanyak tiga kali dihukumi sunnah, bukan wajib.
  9. Disunnahkan ketika mencuci muka, mencuci kedua tangan, mencuci kaki dilakukan sebanyak tiga kali.
  10. Berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) dilakukan sebanyak tiga kali berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Zaid.
  11. Boleh membasuh anggota wudhu yang satu dan lainnya tidak sama, yaitu ada yang dibasuh sekali, ada yang dua kali, ada yang tiga kali. Hal ini sebagaimana bisa dilihat dalam hadits ‘Abdullah bin Zaid.
  12. Tidak boleh membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali.
  13. Disunnahkan shalat dua rakaat bakda wudhu agar mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu (menurut jumhur ulama: ampunan dosa kecil). Hal ini dilakukan dengan cara: (a) berwudhu sempurna seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam praktikkan; (b) melakukan shalat sunnah dua rakaat bakda wudhu asalkan ia konsentrasi dan tidak memikirkan hal-hal di luar shalat.

 

MENGUSAP KEPALA CUKUP SEKALI

HADITS KE-34

وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – -فِي صِفَةِ وُضُوءِ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: – وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً. – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد َ

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata tentang tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan sekali usap.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, dengan sanad yang sahih. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling sahih dalam masalah ini). [HR. Abu Daud, no. 111; An-Nasai secara ringkas, 1:68. Hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:153].

 

Faedah hadits

Hadits ini menunjukkan bahwa kepala diusap sekali saja, tidak tiga kali sebagaimana basuhan lainnya. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, dan yang sahih dari Hambali. Sedangkan ulama Syafiiyah menyatakan bahwa mengusap kepala itu tiga kali.

 

Catatan: Membasuh dan mengusap anggota wudhu tiga kali bukanlah wajib dalam madzhab Syafii, masih bisa dilakukan sekali atau dua kali, seperti itu boleh. Namun, lebih afdalnya melakukan tiga kali. Adapun lebih dari tiga kali itu dimakruhkan. Para ulama sepakat bahwa yang wajib adalah sekali dalam membasuh atau pun mengusap. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:80-81.

 

CARA MENGUSAP KEPALA DARI HADITS ‘ABDULLAH BIN ZAID

HADITS KE-35

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ عَاصِمٍ – رضي الله عنه – -فِي صِفَةِ اَلْوُضُوءِ-قَالَ: – وَمَسَحَ – صلى الله عليه وسلم – بِرَأْسِهِ, فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu, ia bercerita tentang tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan kedua tangannya dari depan ke belakang lalu kembali lagi ke depan.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 186 dan Muslim, no. 235]

وَفِي لَفْظٍ: – بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ, حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ, ثُمَّرَدَّهُمَا إِلَى اَلْمَكَانِ اَلَّذِي بَدَأَ مِنْهُ

Dalam lafaz lain disebutkan, “Beliau mulai mengusap dengan kedua tangan dari bagian depan kepala hingga ke tengkuk, lalu menariknya hingga kembali ke tempat memulai.”

 

Faedah hadits

  1. Sebagian ulama berpendapat bahwa mengusap seluruh kepala itu wajib. Inilah pendapat Malik dan masyhur dari Imam Ahmad, juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir. Sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa mengusap kepala itu cukup sebagian. Menurut ulama Syafiiyah, selama disebut mengusap walaupun sedikit, maka sudah sah.
  2. Dalam hadits ini dijelaskan cara mengusap kepala, dimulai dari bagian depan, lalu ditarik dengan tangan ke tengkuk, kemudian dikembalikan lagi ke tempat awal dimulai. Bisa juga dilakukan dengan menarik dari belakang hingga ke bagian depan kepala lalu ditarik lagi ke belakang.
  3. Hukum asalnya, cara mengusap kepala untuk muslimah sama dengan laki-laki.

 

TATA CARA MENGUSAP TELINGA

HADITS KE-36

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا -فِي صِفَةِ اَلْوُضُوءِ- قَالَ: – ثُمَّ مَسَحَ – صلى الله عليه وسلم – بِرَأْسِهِ, وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ اَلسَّبَّاحَتَيْنِفِي أُذُنَيْهِ, وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ. – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita tentang tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian beliau mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuk ke lubang telinga lalu mengusap bagian luar dua telinga tersebut dengan ibu jari.” (HR. Abu Daud, An-Nasai, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Abu Daud, no. 135; An-Nasai, 1:88; Ibnu Majah, 1:146; Ahmad, 11:277; Ibnu Khuzaimah, 1:89. Hadits ini punya penguat—syawahid–yang bisa mengangkat hingga derajat sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:163-164].

 

Faedah hadits

  1. Telinga itu diusap, bukan dibasuh (dicuci).
  2. Telinga itu bagian dari kepala menurut jumhur (mayoritas) ulama. Dalam hadits Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa dua telinga itu bagian dari kepala. Namun, hadits ini punya cacat menurut para ulama.
  3. Cara mengusap telinga adalah dengan memasukkan jari telunjuk pada lubang telinga untuk mengusap bagian dalam, lalu jari jempol yang mengusap bagian luar. Ini dilakukan untuk membersihkan telinga pada bagian luar dan dalam.

 

DISYARIATKAN MEMBERSIHKAN HIDUNG KETIKA BANGUN DARI TIDUR

HADITS KE-37


وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثًا, فَإِنَّ اَلشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian terbangun dari tidurnya, hendaklah ia istintsar (mengeluarkan air dari hidung setelah menghirupnya), dilakukan sebanyak tiga kali. Karena setan bermalam di dalam lubang hidungnya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 3295 dan Muslim, no. 238]

 

Faedah hadits

  1. Wajib melakukan istintsar setelah bangun tidur malam. Lafaz dalam hadits ini dengan lafaz perintah, asalnya menunjukkan wajib. Istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung yang sebelumnya dilakukan istinsyaq (menghirup air ke hidung). Namun, jumhur ulama (mayoritas) menganggap hukum perbuatan ini sunnah.
  2. Perintah untuk istintsar adalah karena setan bermalam di bagian dalam hidung. Sebagai muslim, tugas kita hanyalah mengimani hal semacam ini.

 

MENCUCI TANGAN SETELAH BANGUN TIDUR SEBELUM MENCELUPKAN DALAM BEJANA

HADITS KE-38

وَعَنْهُ: – إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسُ يَدَهُ فِي اَلْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِم ٍ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan, “Jika salah seorang di antara kalian terbangun dari tidurnya, janganlah ia mencelupkan kedua tangannya ke dalam bejana air hingga ia mencucinya terlebih dahulu tiga kali, sebab ia tidak tahu apa yang dipegang tangannya tadi malam.” (Muttafaqun ‘alaih, lafaz ini dari Muslim). [HR. Bukhari, no. 162 dan Muslim, no. 278]

 

Faedah hadits

  1. Dilarang seseorang mencelupkan telapak tangannya ke dalam wadah jika bangun dari tidur sampai dicuci tiga kali. Menurut madzhab Imam Ahmad ini wajib cuci tangan, sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama dihukumi sunnah, larangan yang ada adalah larangan makruh.
  2. Jika yakin di tangan ada najis, wajib tangan tersebut dicuci sebelum dicelupkan dalam wadah.
  3. Yang dimaksud dengan bangun tidur yang diperintahkan mencuci tangan sebelum dicelupkan adalah bangun tidur malam. Dalam lafaz lain disebutkan, “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidur malam.” (HR. Abu Daud, no. 103; Tirmidzi, no. 24. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih).
  4. Yang sahih dari dua pendapat ulama yang ada, jika ada yang bangun tidur lalu mencelupkan tangannya ke dalam air sebelum tangan tersebut dicuci, air tersebut tidaklah najis. Air tersebut tetap suci. Inilah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.

 

MENYEMPURNAKAN WUDHU

HADITS KE-39

وَعَنْ لَقِيطِ بْنُ صَبِرَةَ, – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – أَسْبِغْ اَلْوُضُوءَ, وَخَلِّلْ بَيْنَ اَلْأَصَابِعِ, وَبَالِغْ فِي اَلِاسْتِنْشَاقِ, إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

وَلِأَبِي دَاوُدَ فِي رِوَايَةٍ: – إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ

Dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah wudhu, selingilah sela-sela jarimu, dan masukkan air ke dalam hidungmu dengan sungguh-sungguh kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.” (Dikeluarkan oleh imam yang empat, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Dikeluarkan pula oleh Abu Daud, riwayatnya: jika engkau berwudhu, maka berkumur-kumurlah) [HR. Abu Daud, no. 142; Tirmidzi, no. 38; An-Nasai, 1:66; Ibnu Majah, no. 448; Ibnu Khuzaimah, 150, 168. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih, disahihkan pula oleh Ibnu Al-Qaththan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:175]

 

Faedah hadits

  1. Asbighil wudhu (menyempurnakan wudhu) ada dalam dua bentuk: (a) wajib, yaitu menyempurnakan yang wajib dibasuh; (b) sunnah, yaitu menyempurnakan wudhu lebih dari kadar wajib, misal membasuh dua atau tiga kali.
  2. Menyela-nyela jari dihukumi sunnah menurut jumhur (kebanyakan) ulama, bukanlah wajib. Namun, jika air sudah sampai pada sela-sela jari tanpa digosok-gosok, sudah sah. Akan tetapi, jika tidak sampai pada sela-sela jari selain dengan cara menggosok-gosok (menyela-nyela), hukumnya menjadi wajib. Dalam ayat hanya diperintahkan untuk mencuci.
  3. Diperintahkan untuk sungguh-sungguh saat menghirup air ke hidung kecuali kalau dalam keadaan berpuasa karena dikhawatirkan air bisa masuk dari hidung ke dalam sehingga merusak puasa.
  4. Para ulama menyamakan memasukkan air ke hidung dengan berkumur-kumur, berarti kita diperintahkan pula untuk berkumur-kumur dengan sungguh-sungguh kecuali saat berpuasa.
  5. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, hukumnya sunnah (bukan wajib). Siapa yang meninggalkannya, wudhunya tetap sah. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir.
  6. Para ulama berdalil dengan hadits ini adanya kaedah “sadd adz-dzaroi’” yaitu mencegah hal mubah menuju suatu yang diharamkan. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berlebih-lebihan saat istinsyaq (memasukkan air ke hidung). Berlebih-lebihan di sini dapat merusak puasa, maka terlarang.
  7. Dari hadits ini juga kita simpulkan kaedah “dar-ul mafasid awla min jalbil mashaalih” yaitu mencegah kerusakan lebih utama dari meraih maslahat. Bersungguh-sungguh saat istinsyaq itu suatu maslahat. Namun, jadi bermasalah jika hal itu dilakukan saat berpuasa. Maka berlebih-lebihan ini dilarang. Maslahat ini ditinggalkan, tetap istinsyaq saat berpuasa, tetapi tidak berlebihan.

 

HUKUM MENYELA-NYELA JENGGOT

HADITS KE-40

وَعَنْ عُثْمَانَ – رضي الله عنه – – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ فِي اَلْوُضُوءِ – أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela air ke jenggotnya ketika berwudhu. (HR. Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Tirmidzi, no. 31; Ibnu Khuzaimah, 151, 152. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa pernyataan sahih karena memandang syawahid, penguat dari hadits lainnya. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:182].

 

Faedah hadits

  1. Takhlil pada jenggot maksudnya adalah memasukkan jari saat menyela-nyela jenggot sehingga air masuk sampai pada pangkal rambut.
  2. Disyariatkan menyela-nyela jenggot ketika wudhu. Ini berlaku jika jenggot lebat (menutupi kulit). Adapun jenggot yang tipis yang tidak sampai menutupi kulit, maka wajib dicuci, termasuk pula kulitnya.
  3. Menurut Ibnul Qayyim menyela-nyela jenggot di sini dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kadang-kadang. Jadi yang sesuai sunnah adalah kadang dilakukan dan kadang ditinggalkan.

 

DISYARIATKAN MENGGOSOK-GOSOK ANGGOTA WUDHU

HADITS KE-41

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدٍ – رضي الله عنه – – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – أُتِىَ بِثُلُثَيْ مُدٍّ, فَجَعَلَ يَدْلُكُ ذِرَاعَيْهِ – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdiberi 2/3 mud, lantas beliau menggosok kedua sikunya. (HR. Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Ahmad, 26;370; Ibnu Khuzaimah, no. 118. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:185].

 

Faedah hadits

  1. Disunnahkan tidak banyak-banyak menggunakan air saat berwudhu, begitu pula ketika mandi. Inilah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Satu mud adalah ukuran penuh dari dua telapak tangan dikumpulkan dari tangan orang pertengahan.
  3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud, beliau mandi dengan satu sha’ (empat mud) hingga lima mud, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas.
  4. Disunnahkan menggosok-gosok anggota wudhu. Hukum sunnah ini menurut jumhur (kebanyakan) ulama.

 

DISYARIATKAN MENGAMBIL AIR BARU UNTUK MENGUSAP KEPALA

HADITS KE-42

وَعَنْهُ, – أَنَّهُ رَأَى اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – يَأْخُذُ لِأُذُنَيْهِ مَاءً خِلَافَ اَلْمَاءِ اَلَّذِي أَخَذَ لِرَأْسِهِ. – أَخْرَجَهُ اَلْبَيْهَقِيّ ُ

Dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil untuk kedua telinga dengan air yang berbeda dipakai untuk kepala. (HR. Al-Baihaqi) [HR. Al-Baihaqi, 1:65, ini riwayat yang syadz, tidak sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:188].

وَهُوَ عِنْدَ “مُسْلِمٍ” مِنْ هَذَا اَلْوَجْهِ بِلَفْظٍ: وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرَ فَضْلِ يَدَيْهِ, وَهُوَ اَلْمَحْفُوظ ُ

Menurut Imam Muslim, ia riwayatkan dengan lafazh, “Dan beliau mengusap kepalanya bukan dengan sisa air di kedua tangannya.” Lafazh ini adalah lafazh yang mahfuzh (sahih). [HR. Muslim, no. 236]

 

Faedah hadits

  1. Mengusap telinga yang tepat adalah dengan air yang tersisa dari mengusap kepala, tidak mengambil air baru.
  2. Mengusap kepala adalah dengan air baru, tidak menggunakan air dari sisa di tangan sebelumnya. Tangan adalah anggota wudhu yang berdiri sendiri berbeda dari kepala. Inilah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.

 

CAHAYA DARI BEKAS WUDHU

HADITS KE-43

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: – “إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ, مِنْ أَثَرِ اَلْوُضُوءِ, فَمَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan wajah, tangan dan kakinya nampak bercahaya karena adanya bekas wudhu. Barangsiapa di antara kalian dapat memperpanjang cahaya tersebut, hendaklah ia melakukannya.” (Muttafaqun ‘alaih, lafazh ini dari Muslim) [HR. Bukhari, no. 136 dan Muslim, no. 246, 35]

 

Faedah hadits

  1. Hadits ini menunjukkan keutamaan dan pahala yang besar dari berwudhu.
  2. Inilah yang jadi sebab perbedaan umat Muhammad dari umat lainnya. Perbedaan umat Islam pada hari kiamat adalah dari kilaunya wajah, tangan, dan kaki mereka.
  3. Yang menjadi keistimewaan umat Islam adalah bukan perbuatan wudhunya karena wudhu sudah ada pada umat sebelum Islam. Yang menjadi keistimewaan umat Islam adalah adanya ghurron muhajjalin (bekas wudhu yang nampak pada wajah, tangan, dan kaki).
  4. Bolehkah menambah membasuh lebih dari batasan yang wajib saat berwudhu, misalnya, membasuh lebih dari siku tangan atau mata kaki? Ada perbedaan ulama dalam hal ini. Yang tepat adalah tidak menambah lebih dari kadar wajib.
  5. Perkataan dalam hadits “Barangsiapa di antara kalian dapat memperpanjang cahaya tersebut, hendaklah ia melakukannya”, itu adalah mudraj (sisipan keterangan) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu untuk menjelaskan maksud hadits. Kaidahnya, tafsiran perawi selama tidak menyelisihi tekstual (zhahir) dari hadits, maka wajib diterima. Namun, jika menyelisihi, berarti tak bisa diterima. Sedangkan kalau kita lihat pada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidaklah melakukan wudhu melebihi batasan wajibnya. Berarti ketika membasuh lengan hanyalah sampai siku, dan ketika membasuh kaki hanyalah sampai mata kaki.

 

MENDAHULUKAN YANG KANAN DALAM BEBERAPA PERKARA TERMASUK PULA WUDHU

HADITS KE-44

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ اَلتَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ, وَتَرَجُّلِهِ, وَطُهُورِهُ, وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa menyukai mendahulukan yang kanan (dari yang kiri) ketika memakai sandal, ketika mengurus rambutnya (menyisir, meminyaki, dan mempercantik), ketika bersuci (berwudhu dan mandi), dan setiap perkara baik lainnya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 168 dan Muslim, no. 268, 67]

 

Faedah hadits

  1. Hendaklah memulai dengan kaki kanan ketika memakai sandal, begitu pula kaos kaki, dan sepatu. Hal ini dimisalkan pula ketika memakai pakaian, celana, hingga lengan baju.
  2. Melepaskan sandal hendaklah dengan yang kiri terlebih dahulu, sama halnya dengan menanggalkan pakaian dan celana.
  3. Hendaklah mendahulukan sisi kanan ketika mengurus rambut, ketika menyisir hingga mencukur rambut.
  4. Hendaklah mendahulukan bagian yang kanan saat bersuci, yakni ketika wudhu dan mandi, saat membasuh kedua tangan dan kedua kaki. Adapun kedua telinga, kedua telapak tangan, kedua pipi dibasuh serentak.
  5. Mendahulukan yang kanan dilakukan pada segala sesuatu. Para ulama mengkhususkan dalam bab “takrim” (pemuliaan pada sesuatu) seperti mengambil, memberi, mengenakan (pakaian, celana, dan sepatu), ketika masuk masjid, saat memakai sandal, saat makan dan minum (dihukumi wajib dengan kanan), bersalaman, memakai celak, bersiwak, mencukur rambut kepala, semuanya ini dimulai dengan yang kanan. Adapun yang berbeda dengan hal-hal tadi, dianjurkan memulai dengan yang kiri seperti masuk toilet, keluar dari masjid, mengeluarkan ingus dari hidung, beristinja’ (cebok), melepaskan pakaian, celana, dan sepatu.

Yang disimpulkan dari Ibnu Hajar, disampaikan oleh Imam Nawawi bahwa mendahulukan yang kanan adalah dalam perkara mulia (baik) dan dalam hal berhias diri. Sedangkan sebaliknya, didahulukan yang kiri. Lihat Syarh Shahih Muslim, 1:270.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Disunnahkan mendahulukan yang kanan saat memakai dan yang kiri saat melepas.” (Syarh ‘Umdah Al-Ahkam, hlm. 52)

Syaikh Prof. Dr. Sa’ad bin Turkiy Al-Khatslan (dosen jurusan fikih di Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud) ditanya, “Manakah yang lebih afdal, menggunakan jam tangan di tangan kanan ataukah kiri?

Syaikh hafizhahullah menjawab, “Yang nampak, jam tangan (arloji) berfungsi sebagaimana cincin. Ada yang bermaksud mengenakannya sebagai mode (penampilan) dan ada yang bermaksud memanfaatkannya untuk tujuan yang lain. Dan telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau menggunakan cincin di tangan kanan dan kadang di tangan kiri pula. Para ulama akhirnya berselisih manakah di antara keduanya yang terbaik. Yang paling bagus dalam menyikapi hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar ketika ia mengatakan, ‘Yang tepat, hal ini tergantung tujuan menggunakannya. Jika tujuan menggunakannya adalah untuk penampilan, kanan lebih afdal. Jika tujuannya untuk memakai sebagaimana cincin, maka yang kiri lebih tepat karena cincin itu seperti suatu ikatan. Tujuan ini pun bisa dicapai jika diletakkan di tangan kanan’ (Fath Al-Bari, 10:327). Oleh karenanya, jika tujuan menggunakan jam untuk mengenali waktu, maka lebih afdal di tangan kiri. Jika maksudnya untuk penampilan–sebagaimana maksud seperti ini ditemukan pada banyak wanita–, maka afdalnya adalah di tangan kanan. Wallahu a’lam.” (Diambil dari situs web Syaikh Sa’ad Al-Khatslan)

 

Baca juga: Memakai Jam Tangan di Kiri ataukah di Kanan?

 

PERINTAH MENDAHULUKAN YANG KANAN KETIKA BERWUDHU

HADITS KE-45

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا تَوَضَّأْتُمْ فابدأوا بِمَيَامِنِكُمْ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian berwudhu hendaklah memulai dengan yang kanan.” (Dikeluarkan oleh yang empat dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Abu Daud, no. 4141; Ibnu Majah, no. 402; Ahmad, 14:292; Ibnu Khuzaimah, 1:90; Tirmidzi, no. 1766; An-Nasai dalam Al-Kubra, 8:425. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah sebagaimana komentar dari Ibnu Hajar. Ada catatan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan bahwa kalimat perintah terdapat pada sunan Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah, berarti disebutkan dengan sunnah qauliyah, berupa ucapan. Sedangkan, dalam riwayat Tirmidzi dan An-Nasai disebutkan dengan sunnah fi’liyyah, berupa praktik, dan tidak disebutkan perihal wudhu. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:204-205].

 

Faedah hadits

Berdasarkan perintah yakni sunnah berupa ucapan dan berdasarkan praktik dalam sebagian lafaz hadits, disimpulkan secara tekstual bahwa mendahulukan yang kanan dihukumi wajib. Namun, ada perkataan dari Ibnul Mundzir, “Para ulama sepakat bahwa tidak ada pengulangan jika ada yang mendahulukan yang kiri sebelum yang kanan.” (Al-Awsath, 1:387). Ibnu Qudamah rahimahullahberkata, “Tidak wajib berurutan dalam hal kanan dan kiri. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan ulama dalam hal ini.” (Al-Mughni, 1:190).

Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah para ulama berijmak (bersepakat) bahwa mendahulukan yang kanan di sini dihukumi sunnah (bukan wajib). Lihat perkataan-perkataan ini dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:206.

 

MENCUKUPKAN PADA MEMBASUH UBUN-UBUN BERSAMA ‘IMAMAH (PENUTUP KEPALA)

HADITS KE-46

وَعَنِ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةٍ – رضي الله عنه

Artikel asli: https://rumaysho.com/24881-bulughul-maram-tentang-wudhu-bahas-tuntas.html